Kamis, 21 Agustus 2008

Cerpen Lan Fang


[ Jawa Pos Minggu, 20 Juli 2008 ]


LAILA























Cerpen Lan Fang




Apakah yang paling kusukai dari sebuah perjalanan? Menembus butanya malam! Pekat terasa tak berujung. Aku adalah sebuah titik kecil yang menerobos gelap. Di antara titik-titik lainnya. Titik-titik lampu jalanan, titik-titik mobil yang berpapasan atau titik-titik rumah penduduk di tepi jalan.

Mobil yang membawa tubuhku menyalip mobil lain yang ada di depannya. Aku tidak merasa tubuhku bergoyang-goyang karenanya. Tetapi ketika angin masuk melalui kaca jendela mobil yang terbuka, kurasakan cahaya kecilku terguncang.

''Uh! Dingin!'' ujar sopir sambil menaikkan kaca jendela mobil.

''Ya, udara Jember belakangan ini tidak nyaman. Hujan terus-menerus,'' sahut laki-laki di sampingnya.

''Surabaya juga,'' sahut sopir sambil terus melajukan mobil.

''Apa kita bisa masuk Surabaya sebelum subuh?''

''Mudah-mudahan. Jember sudah jauh di belakang. Sebentar lagi kita sampai di Probolinggo.''

Aku juga berharap demikian. Bisa segera sampai di Surabaya. Dua hari yang lalu, aku berangkat ke Jember untuk bermain di sebuah pementasan sandiwara.

Aku ingat sekali nada suaranya ketika itu. Ia tidak pernah mengatakan ''tidak'' untuk apa saja yang ingin kulakukan. Ia selalu mengiyakan apa yang kuinginkan. Tetapi aku tahu betul bentuk kata-kata lain yang mengungkapkan keberatannya. ''Kamu kan tidak ingin jadi pemain sandiwara?''

Lalu, seperti biasa, aku pun ngeyel. Kuceritakan bagaimana seriusnya latihanku berbulan-bulan untuk melakonkan Laila, tokoh dalam naskah Pesta Pencuri yang hendak dipentaskan itu.

Laila adalah perempuan cantik yang kesepian dengan kecantikannya. Ia tidak bisa membuat dirinya mencintai seseorang kecuali dirinya sendiri. Sedang dirinya begitu kosong. Tak punya cinta. Maka, bagaimana dia bisa mencintai? Yang dia bisa hanyalah menangis dengan merana.

Seperti biasa ia tertawa mendengarkan ceritaku. ''Kamu bisa menangis?''

Ia memang tidak pernah melihatku menangis. Sebab ia selalu membuatku tertawa. Kalaupun ia membuatku menangis, itu selalu kulakukan dengan diam-diam. Menangis tanpa air mata. Menangis tanpa suara. Menangis tidak di depannya. Kurasa itu lebih mudah daripada harus berpura-pura menangis dengan sungguh-sungguh.

''Selamat jalan-jalan,'' akhirnya ia berkata begitu. Ia tahu betul bahwa ia tidak bisa menghentikan keinginanku. Maka, aku merasa selalu mementingkan keinginanku sendiri. Tetapi, karena itu pulalah, aku tidak bisa menemukan orang lain yang selalu memenuhi keinginanku, kecuali dia.

Jember bergerimis membuat gedung yang kutuju terasa begitu tua dan letih. Dindingnya pucat dan bergelembung ketika air merembes dari plafon. Lantai lembab seperti menyerap basah dari pori-pori tanah. Jendela kusam menyaksikan tubuhku disergap gigil.

Dingin merayap cepat dari ujung kaki menuju jantungku. Entah bagaimana, tahu-tahu saja dingin sudah bersenyawa dengan darahku. Dingin dengan ketenangan yang luar biasa menguasai tubuhku. Sehingga aku tidak bisa merasakan yang lain. Lalu apa yang harus kulakukan bila dingin itu memelukku? Maka, kuberikan saja bibirku pada dingin. Setidaknya, aku berharap bisa membagi kehangatan. Tetapi, dingin tetap dingin walaupun aku sudah mengulumnya dengan rakus.

Maka, aku berlari. Secepatnya. Dikejar dingin. Aku harus membawa tubuhku pergi dari gedung itu. Kalau tidak, tubuhku akan senasib dengan air yang merembes dari plafon. Atau akan diserap oleh lembab yang mengangga.

Lariku sampai pada titik-titik kecil. Awalnya kulihat seperti kunang-kunang. Atau mataku yang berbintang-bintang? Entah. Tetapi kemudian semakin terang. Benderang.

Tiba-tiba saja ada empat orang berpakaian putih-putih mengelilingiku. Aku jadi menyibukkan mereka.

''110: 70,'' ujar seseorang yang ada di sebelah kananku. Kulihat ia memompa sesuatu yang dibelitkan di lenganku.

''Nadi 70,'' yang di sebelah kiriku menyahut sambil memegang lenganku.

''Di mana yang sakit?'' seseorang yang mereka panggil sebagai dokter menanyaiku.

''Adakah selimut? Aku kedinginan,'' aku tidak merasa yakin kalau itu suaraku. Tetapi aku yakin kalau dingin masih menempel di tubuhku.

Mereka menggeleng sambil menatapku setengah keheranan. Mungkin kelihatannya aku normal-normal saja. Tetapi tidakkah mereka bisa merasakan dingin merambat di sekujur kulitku? Seperti para semut berjalan beriringan. Ujung-ujung jariku menebal lalu menyebar begitu cepat.

''Nama, umur, alamat?'' seseorang yang sejak tadi diam menanyaiku.

''Laila, 25 tahun, Surabaya,'' sahutku. Tetap dengan ketidakyakinan bahwa yang menjawab itu adalah suaraku.

''Alamat di Jember?''

''Gedung itu...''

''Gedung itu?'' ia mengulang kata-kataku dengan nada tanya. ''Maaf, ada keluarga yang bisa dihubungi?'' ia menyambung dengan pertanyaan lain.

Aku tidak suka dengan pertanyaan ini. Tetapi aku tahu bahwa orang ini harus menanyakan itu padaku. Aku semakin tidak suka dengan jawaban yang ingin kukatakan. Sebab, aku ingin menyebut namanya. Hanya ia yang tebersit di kepalaku saat itu. Tetapi aku tidak mungkin menyebutnya. Karena mungkin ia sedang bersama perempuan lain. Apa jadinya kalau kemudian orang-orang ini menghubunginya?

Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Bukan saja karena aku tidak suka, aku lebih sibuk berperang melawan dingin. Kurasa perutku mulai keram. Atau bekukah? Dan, angin dingin keluar dari hidungku.

Suara dokter terdengar hanya seperti dengungan lebah. Sepertinya ia menyuruh perawat menyuntikkan sesuatu ke tubuhku. Aku tidak bisa mendengarnya lagi. Hanya kurasakan ada cairan yang merembes masuk melalui kulitku. Seperti air merembes pada dinding yang bergelembung di gedung itu...

Sekarang rasanya mataku hanya melihat terang. Tetapi tetap kedinginan. Dan, tetap tidak ada selimut. Aku kalah melawan dingin. Maka kubiarkan saja tubuhku menerima dingin. Seketika itu juga yang tampak hanya seperti layar putih. Tidak ada yang melintas di sana. Masa lalu hilang. Apalagi masa depan. Tetapi walaupun hanya sepersekian detik ia sempat berkelebat. Maka, kucoba untuk mencuri secuil ingatan walau hanya untuk beberapa jenak.

''Kalau aku mati lebih baik dibakar saja. Tidak usah dikubur. Pasti di bawah sana begitu lembab dan dingin. Lalu cacing berpestapora atas tubuhku. Oh, tidak akan kubiarkan hal itu terjadi. Lebih baik abuku dilarung ke laut. Aku bisa jadi ikan,'' entah kenapa ia mengatakan hal yang menakutkan itu padaku.

Aku tidak suka berpikir tentang kematian. Aku sangat mencintai kehidupan. Karena, kalau mati, aku yakin pasti masuk neraka. Kata banyak orang, neraka itu lautan api panas. Semua meraung-raung dibakar sampai meleleh di sana. Lidah-lidah api akan menelan tubuhku. Pasti sangat menyiksa. Tetapi, kenapa ia justru memilih kematian dengan membakar jasad? Apakah ia tidak takut dengan panas itu? Bukankah dingin juga terasa melinukan seluruh sendi? Kurasa dingin juga sebentuk neraka. Ingin sekali kuceritakan padanya tentang neraka yang ini.

Oh! Aku tak kuasa menahan siksaan dingin. Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang lagi-lagi terasa dingin mengalir di ujung mataku. Simpul-simpulku yang belum terlalu dingin mengatakan bahwa aku tidak bisa lagi bercerita padanya. Ternyata dingin lebih dulu membekukan ceritaku.

''Lihat! Aku menangis. Tetapi, lagi-lagi kau tidak bisa melihatnya, kan?'' Kali ini aku yakin bahwa ini adalah suaraku. Sebab, memantul mencacah udara dengan begitu sedih. Kesedihan yang kusimpan hanya untuk diriku sendiri. Seperti Laila.

''Jangan menangis, ah...,'' aku ingat ia selalu berkilah sebelum tangisku dilihatnya. Awalnya, kupikir bahwa aku terlalu tinggi hati untuk membiarkannya melihatku menangis. Rupanya ia juga tidak mau melihatku menangis. Tetapi bagaimana mungkin aku tidak menangis bila ia berbicara seakan-akan kematiannya akan datang lima menit lagi?

''Kalau begitu, kamu jangan mati. Nanti aku sepi...,'' aku meratap sambil mati-matian menahan tangis. Bahkan untuk kehendaknya mati itu. Sebetulnya aku ingin tahu apakah ia juga akan menangisiku? Misalnya, bila aku pergi.

''Aku cuma ingin tidur seribu tahun. Aku letih,'' sahutnya mengelak dengan tidak lucu. Dalam hatiku bertanya-tanya, seletih apakah ia sampai ingin tidur seribu tahun? Apakah seletih gedung tua yang menyergapku dengan dingin itu?

Saat itu kucoba tertawa untuk sesuatu yang tidak lucu. Menertawakan kesedihan yang mencuat begitu saja. Kukatakan bahwa ia akan jadi pangeran tidur. Aku akan jadi putri yang menjaga tidurnya. Aku tidak akan lengah. Biarpun ia bukan punyaku, aku akan menjaga hatinya. Walaupun untuk seribu tahun. Dan, kelak kubangunkan dengan ciuman. Ketika itu pasti ia milikku.

Ia akan jadi ikan. Sedang dinginku sudah meleleh. Merembes seperti air di tembok gedung tua yang sama letihnya dengannya. Lalu mengalir sampai ke hilir. Ia bisa merenangiku dengan merdeka. Karena air tidak punya pintu. Sehingga ia tidak perlu letih melampauinya.

Tetapi ternyata sekarang air cuma menggenang di lantai yang membuat kaki malas berpijak. Kakiku menjerit, ''Jangan menebar gigil di sini!'' Dingin tetap saja tidak pamit undur diri. Masih setia berjingkat-jingkat.

Aku ingin menekan tombol ponselku. Meneleponnya, ''Peluk aku. Peluk aku.'' Mungkin juga berkata, ''Aku sekarang putri tidur itu. Entah untuk berapa tahun. Apa sekarang kau merasa sepi?''

Ia mulai lenyap. Aku berusaha menahannya. Aku ingin menculiknya. Untuk bersama-sama dalam ingatan yang tak pernah lekang. Kubekukan dalam benak dan pikiran yang tak bisa hilang.

Ia ikan dan aku air. Iya kan?

''Aku menyesal jadi Laila!'' seruku dengan hangatku yang tersisa. Kuharap ia mendengarnya. Seruanku bercerita tentang Laila yang haus tepuk tangan. Juga Laila yang terkapar. Laila yang menangisi dirinya sendiri. Laila yang kedinginan.

''Lailaaaaaaaaa.....'' Aku tidak tahu itu suara siapa. Aku yakin bahwa itu bukan suaranya. Ia tidak memanggilku dengan nama Laila. Lalu apakah suara dokter dan para perawat itu? Karena mereka hanya tahu namaku Laila. Atau teriakan lawan mainkukah? Memang ada sebuah adegan di mana lawan mainku meneriakkan nama itu sambil menenteng lampu bercahaya redup.

Mungkin itu benar suara lawan mainku. Karena terangku mulai meredup. Hanya jadi seperti titik-titik cahaya kecil yang tidak berdaya. Semakin lemah.

''Apa benar namanya Laila?'' kudengar suara sopir sambil terbatuk-batuk. ''Rasanya semakin dingin...''

''Ia mengaku begitu. Tetapi laki-laki yang kami hubungi tadi mengatakan bahwa ia bukan Laila,'' sahut laki-laki bersuara serak di sampingnya. ''Itu pintu tol Waru. Untunglah. Surabaya sebentar lagi. Laki-laki di telepon itu menyuruh kita mengantarnya ke Surabaya secepatnya. Kedengarannya sangat cemas.''

''Siapa laki-laki di telepon itu?''

''Entah. Kami tidak tahu harus menghubungi siapa ketika suhu tubuhnya semakin turun. Semakin dingin. Tiba-tiba saja sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Sukseskah Laila? cuma itu SMS yang masuk. Dan, kami memutuskan menghubungi nomor yang mengirim pesan singkat itu.''

Angin bernapas tidak teratur. Napasku mengangin.

''Dia cantik sekali. Seperti tidur.''

''Tapi tadi sempat kulihat ada air mata. Ia menangis dalam tidur.''

''Ah, masa? Ia cuma seperti tidur. Jadi pasti ia juga cuma seperti menangis. Lihat saja, nanti kalau sudah bertemu laki-laki itu, ia pasti bangun dan tertawa. Sekarang ia cuma pura-pura. Ia seperti pemain sandiwara.''

Titik-titik cahaya kecil rontok satu per satu.

''Eh, betul...rasanya dingin sekali...''

Lalu mereka diam. Mobil masih bergoyang-goyang saling menyalip. Aku ingin mereka lebih cepat. Cahayaku tinggal setitik.

''Kamu kan tidak ingin jadi pemain sandiwara?'' kali ini aku yakin bahwa yang kudengar adalah suaranya. Ia tidak pernah berkata ''tidak'' untuk apa saja yang ingin kulakukan. Tetapi bukankah nada suaranya mengatakan bahwa ia tidak suka aku bermain sandiwara? Ia tidak suka aku menjadi Laila.

Kali ini aku tidak ingin membantahnya lagi. Tidak ada salahnya bila aku menurutinya. Bukankah cuma dia yang selalu memenuhi keinginanku?

''Ya. Aku tidak ingin jadi pemain sandiwara. Aku cuma ingin jalan-jalan. Karena ada yang paling kusukai dari sebuah perjalanan. Menembus butanya malam!''

Lalu, malam sungguh-sungguh buta. Tidak ada cahaya lagi. Walau cuma setitik. ***

(Pro : ikan : blub blub blub. 03.06 WIB)

Tidak ada komentar: