Kamis, 21 Agustus 2008

Cerpen FASUNARYONO BASUKI KS

[Jawa Pos Minggu, 03 Agustus 2008 ]




Sirene Polisi dan

Spotlight Helikopter





Cerpen FASUNARYONO BASUKI KS

Rasanya sebilah pisau berkilat di leherku mendengar raung sirene mobil polisi, beberapa buah kedengarannya, menyerbu lingkungan yang hanya sejengkal dari kulitku. Apakah polisi datang mengepung tempat kami tinggal? Tapi kami penghuni sah, sepuluh orang dalam sepuluh kamar, pemegang paspor dinas dan peserta program Refresher C Dirjen Dikti. Di Columbus hanya lima bulan, menulis buku ajar masing-masing dalam bidang keahlian kami. Tak ada hubungannya dengan drug business, juga bukan bisnis penyelundupan.

Memang, walau terasa menempel di telinga, ternyata raung sirene itu tidak menuju rumah kami. Dari jendela kecil di kamarku di lantai atas, kelihatan beberapa mobil polisi dengan lampu-lampu merah-biru byar pet, dan di langit sebuah helikopter menderu, spotlightnya menyorot wilayah yang dikepung. Cahaya spotlight itu mengingatkanku pada lampu kereta api yang melintas Desa Pakisaji pada malam hari, suatu malam di tahun 1948. Ular naga raksasa berwarna hitam itu mendengus-dengus memompakan uap panas dari lubang-lubang hidungnya: jes-jes-jes-jes-wuuzzz... Aku selalu berlari ke tepi rel kereta api yang hanya berada dua puluh meter dari halaman rumah nenek yang terletak di seberang stasiun kecil, terpesona oleh cahaya sorot mata naga yang menembus gelap malam. Kereta dari Kepanjen mungkin juga dari Blitar menuju Malang Kota, di malam hari.

Peristiwa di depan hidung itu terasa jauh. Di Malang, kalau ada keributan di luar rumah, orang-orang keluar rumah dan saling bertanya. Ada maling tertangkap. Ada pasangan selingkuh tertangkap basah. Tetapi di sini, kami memilih untuk tinggal di dalam kamar. Dari jendela kamar tak terlihat ada orang lain selain polisi yang sibuk, padahal jam baru menunjukkan sebelas malam. Bar baru saja tutup, jalanan lengang. Esok paginya TV lokal menyiarkan beritanya. Katanya, komplotan pengedar obat terlarang ditangkap, lengkap dengan data lokasi penangkapan. Padahal, kami yang bertetangga tuli.

Columbus bukan kota yang sangat besar, walaupun kota ini ibu kota Ohio State. Cleveland dan Cincinatti katanya jauh lebih ramai, dan pasti jauh lebih banyak tindak kejahatan. Kalau aku menumpang bus ke arah luar kota, aku sering membaca papan peringatan di mulut sebuah jalan: hati-hati di malam hari! Tidak aman. Awas penodongan, penjambretan! Kegemaran kami berkelana ke tempat-tempat belanja membuat kami menumpang bus kota ke arah luar kota. Aneh, semua pusat belanja, yang berupa mall, terletak di ujung-ujung luar kota. Mall sendiri bangunannya tak menarik nampak dari luar. Mirip gudang raksasa dengan tempat parkir sangat luas. Tetapi memasukinya kita disambut toko-toko dan taman-taman di dalamnya.

Dengan santai aku dapat duduk di bangku-bangku taman sebelum menjelajah toko-toko yang ada. Sebetulnya tak ada yang unik. Paling JC Penny dan semacamnya, atau kalau di Inggris Mark & Spencer. Tetapi di mall itu juga terdapat bermacam restoran tempat kami makan siang. Padahal, ada satu toko besar di dalam kota, Toko Lazarus, yang setiap pekan terakhir, seluruh barang di lantai enam diobral sangat murah. Orang yang belanja mengangkut barang belanjaannya dalam kantung plastik hitam besar yang biasa dipakai tempat sampah, memanggulnya di punggung, seperti maling membawa barang curian.

Washington lain lagi. Kota besar, ibu kota negara, dan aku merasa tak nyaman tinggal beberapa malam. Menginap di Ramada Inn bersama rombongan. Sekamar aku bertiga bersama Riza dan Narji, ke mana-mana pergi bertiga. Aku dan Narji yang dosen Penjaskes itu berbadan besar, toh nyaliku kecil saat segerombolan pemuda negro meneriaki kami dari tepi jalan, melontarkan kata-kata yang tak kupahami, padahal aku dosen bahasa Inggris. Di seberang jalan, seorang polwan siap berjaga, lengkap dengan pistol di pinggang. Padahal di Inggris, polisi hanya membawa pentungan. Di dalam kedai fried chicken pun ada security yang bersenjata pistol. Untung di Chicago aku hanya singgah di Bandara O'Hare beberapa kali. Kalau aku harus turun ke kota, pasti akan terjerat cerita ''Arak Gelap di Chicago'' yang pernah kubaca di masa kanak-kanak. Entah bagaimana pula keadaan di kota yang terkenal dengan tindak kejahatannya itu.

Rasanya berbeda dengan tinggal di Inggris. Aku tinggal di Leeds selama sembilan bulan, tak satu kali pun mendengar suara sirene mobil polisi, padahal Leeds disebut Metropolitan City. Aku merasa aman berjalan di jalan-jalannya yang sepi. Lampu jalan yang berwarna kuning menyebabkan perempuan yang muncul dari belokan bagaikan wajah hantu, rias wajahnya mengerikan, tetapi tak ada ancaman. Sering aku ngobrol di rumah teman sampai jam satu pagi, dan di sepanjang jalan yang kosong tak pernah merasa terancam. Apalagi di Lancaster yang kutinggali selama 12 bulan penuh. Aku tinggal di asrama dalam kampus Lancaster University yang luas. Di kampus itu terdapat satu kolam renang, tempat main squash, dan 50 lapangan tenis, belum lagi lapangan terbuka untuk olahraga yang lain. Ada taman kanak-kanak, asrama khusus bagi yang sudah berumah tangga, dan hutan yang mengelilinginya, tempatku melakukan jalan kaki pada Ahad pagi. Di pintu kamar selalu kugantungkan tanda: Sunday walk, around campus. Dan teman-temanku tahu bahwa aku suka menelusup ke dalam hutan kampus.

Aku juga pernah tinggal di Canterbury dan Arberdeen selama sebulan, dan dalam masa-masa pendek berkali-kali bekunjung ke Edinburgh, London, dan tentu ke kota kecil Marske-by-the Sea di selatan Newcastle upon Tyne berkunjung ke keluarga Sasti dan Richard Watson. Di Canterbury aku juga dijamu Bill Watson dengan anak-anaknya yang ayu, Dewi dan Putri.

Tapi di London aku selalu menginap di rumah Dr Peter Southwell, teman Ridwan, kecuali saat aku diundang sebagai sarjana tamu oleh The British Council, aku dimanja dengan tinggal di hotel dan diberi uang saku.

Pada Peter aku bilang, aku akan berkunjung ke rumah Annabel Gallop, pustakawati yang bekerja di The British Library seksi Melayu.

''Di mana dia tinggal?'' kata Peter sambil memberiku kunci pintu depan.

''Di wilayah selatan sini juga, di Bromley.''

''Hah! Hati-hati di malam hari. Tidak aman.''

Toh aku berangkat dengan mengucap basmallah dan sampai dengan selamat di rumah Annabel dan disambut dengan makan malam dengan lauk ayam bumbu kecap. Annabel juga mengangkat telepon memperkenalkan padaku dengan Pak Boediardjo, yang sudah lepas dari penjara Soeharto tapi gagal bergabung dengan istri dan anak-anaknya yang punya kewarganegaraan Inggris. Besok paginya aku harus bertemu lelaki tua itu, yang hidup sendirian, dan pasti sangat kesepian.

Kekhawatiran Peter tak terbukti. Aku kembali selamat ke rumahnya. Yang mendebarkan justru sebelum aku berangkat ke Inggris. Gara-gara ingin beli stiker bendera merah putih, aku menaiki tangga penyeberangan di Jalan Sudirman di depan Komdak. Memang di lantai jembatan ada beberapa pedagang, satu di antaranya menggelar aneka stiker. Aku asyik memilih saat kudengar suara: ''Jangan takut! Tenang aja!''

Saat aku menoleh ke kanan, kulihat seorang gadis mengenakan seragam sekolah putih abu-abu, dikerubut tiga lelaki, salah seorang di antaranya memegang pisau belati yang menempel di lehernya. Gadis itu menangis tetapi mereka tak peduli. Hanya empat meter di sebelah kananku. Aku gemetar. Apakah akan kugunakan ilmu bela diriku? Kalau aku selamat dengan melumpuhkan mereka, siapa yang tanggung bahwa di bawah tak ada lelaki lain yang tanpa basa-basi menusukkan pisaunya ke perutku? Jantungku berdegup keras, aku mengucap doa dan menuju ke arah mereka. Makin dekat aku makin berdebar dan kemudian kulewati mereka dengan tergesa dan langsung kuturuni tangga, sepi tak ada orang. Mereka tak memperhatikanku. Andaikata perhatiannya terpecah padaku, mungkin mereka bisa menyerobot beberapa ratus ribu dari dompetku. Tapi hal itu tak terjadi. Andai terjadi, mungkin aku juga mengalami nasib sama dengan Mas Slamet Sukirnanto, yang ditodong dan kehilangan uang setengah juta kemudian mengalami stroke. Kata anak-anaknya, ''Padahal, bapak biasanya ikhlas. Ini bukan kali pertama dia ditodong.''

Mungkin sebilah pisau menempel di lehernya, dan karena usia tuanya, tak tahan lagi atas perlakuan itu. Mungkin dia juga sedih, kenapa rakyat yang dibelanya dalam pusi-puisinya justru menodai kepercayaannya.***

Singaraja, 31 Juli 2008

Tidak ada komentar: