Kamis, 21 Agustus 2008

Cerpen Aris Kurniawan

[ Minggu, 10 Agustus 2008 ]




Lelaki Pub





Cerpen Aris Kurniawan

Malam ini pub tidak seramai kemarin. Kami duduk di meja agak depan, beberapa jengkal dari meja kasir. Sebenarnya aku ingin memilih meja paling belakang supaya leluasa melihat pengunjung lain. Dan tentu saja memperhatikan Tita, pelayan pub bermata sendu itu. Tetapi tentu saja aku tidak mungkin memaksakan keinginanku. Boleh dibilang aku tidak punya pilihan. Semua Juan Esteban yang menentukan. Termasuk di pub mana dia ingin minum bir. Laki-laki tua di depanku ini memang meminta pendapatku saat memilih meja, tapi itu basa-basi belaka. Sebab setiap aku memberi usul Juan selalu bilang, ''Pilihanmu kurang tepat anak muda!'' Kalimat itu masih akan bertambah panjang dengan, ''Anak muda sekarang sering membuat keputusan yang kurang tepat.''

Malam ini Juan Esteban mengenakan pakaian ala koboy: baju corak kotak-kotak dengan garis-garis warna merah marun dan hitam, dipadu rompi kulit, celana jeans belel, dan tak ketinggalan topi laken yang menyembunyikan rambut tipisnya. Hanya saja tak ada pistol di pinggangnya. Mungkin dia ingin mengenang saat menjadi gembala domba pada masa muda dulu.

''Minum apa anak muda?'' tanya Juan Esteban. ''Bir saja, sama denganmu, Juan,'' ujarku.

Tak lama setelah itu pelayan datang mengantarkan pesanan. Dia tersenyum manis pada Juan. Bahkan matanya mengerling nakal. Padaku dia hanya tersenyum alakadarnya. Juan langsung menenggak bir di depannya seperti orang kehausan. Padahal di panti tadi dia baru saja menghabiskan sebotol bir. Cairan berwarna kuning yang berkilauan disentuh pendar lampu itu mengalir deras ke tenggorokannya. Segelas besar bir tandas dalam satu kali teguk. Ujung lidahnya menyapu ceceran bir di sudut bibir. Dia lantas menyulut cerutu. Aroma cerutu segera mengapung memenuhi ruangan pub yang remang-remang bercampur dengan aroma ganja dan parfum para pengunjung.

Walaupun jaraknya cukup jauh dari panti, pub inilah yang paling sering dikunjungi Juan Esteban untuk minum bir. Dibanding yang lain pub ini suasananya memang lebih nyaman dan menyenangkan. Mungkin karena atmosfer gothic yang dihadirkannya. Letaknya tersembunyi di antara deretan toko-toko pakaian dan rumah makan. Pelayannya rata-rata berusia belasan tahun. Mereka adalah mahasiswa yang bekerja paruh waktu.

''Minumlah anak muda. Jangan murung seperti itu. Aku tidak suka melihatnya,'' ujarnya.

Tidak bisa tidak, aku pun meraih gelas bir, menenggaknya perlahan-lahan. Rasa sepat memenuhi rongga mulutku, tapi aku berusaha menikmati. Juan Esteban tampak senang melihatku. Dia tersenyum, lantas menyorongkan cerutu. Matanya berpendar gembira. Dia tampak tampan meski gurat-gurat usia terpahat jelas di raut wajahnya. Sesunguhnya dia orang yang cukup menyenangkan. Dia juga sangat royal apabila dia merasa puas dan terhibur dengan kehadiranku. Dia memberi tips yang cukup buat beli satu stel pakaian dan sepatu. Tentu saja ini di luar tunjangan dan upah yang diberikan Javier padaku tiap bulan.

Hanya saja sikap menyebalkannya muncul saat mulai mabuk. Sebelumnya dia akan berbicara kian kemari tentang apa saja. Paling sering dia bicara tentang masa mudanya. Meski sebal aku mesti menyimaknya, sebab kalau tidak dia akan marah dan mengancam akan melaporkannya pada Javier, putranya, supaya memecatku. Dia tidak hanya menuntutku menyimak pembicaraannya tapi juga mengomentarinya. Sebalnya dia akan menunjukkan sikap tak suka apabila aku memberi komentar negatif. Kalau dia sedang bercerita jangan harap aku punya kesempatan memperhatikan gerakan Tita yang tangkas meladeni pengunjung. Melihat tubuhnya yang ramping namun padat berseliweran dari meja ke meja. Sedikit mataku beralih darinya, Juan Esteban akan menggebrak meja.

Juan kadang menanyakan kabarku, meminta aku bercerita tentang keluargaku, pacarku, kegemaranku, buku-buku yang kubaca, tempat-tempat yang pernah aku kunjungi atau apa saja yang sekonyong melintas di kepalanya. Maka aku akan bercerita. Tapi tentu aku hanya mengarang-ngarang saja. Toh dengan seenaknya dia bisa memotong ceritaku, memberi nasihat-nasihat dan saran yang membosankan, bagaimana mestinya aku bersikap menghadapi setiap persoalan. Selebihnya dia akan berpanjang lebar membanding-bandingkan kisah hidupnya yang terdengar sangat heroik.

Tengah malam sudah lama lewat. Juan Esteban masih tampak segar. Belum ada tanda-tanda akan mabuk. Pub makin ramai dengan sajian live music. Lagu Manuela milik Julio Iglesias melantun dari mulut penyanyi di panggung. Mata Juan mengerjap-ngerjap gembira. Kepalanya tampak bergerak ke depan dan ke belakang mengikuti irama musik. ''Ini lagu kesukaanku, inilah lagu yang menandai kisah cintaku dengan Martina,'' ujarnya.

Manuela, Manuela

Manuela, Manuela

Como a noite

Como un sonho

Sao os olhos

Negros meu amor, Manuela

Como a flor na primavera

Como a lue chea e assim, Manuela

Dia turut melengkingkan syair lagu dengan suaranya yang terdengar serak. Nama Manuela dalam lirik lagu tersebut dia ganti menjadi Martina. Sementara gerakan kepalanya makin bersemangat meniru gerakan penyanyi di panggung. Dia memintaku ikut bangkit menggerak-gerakkan tubuh mengikuti irama. Entah berapa lama kami menari mengentak-ngentakkan sepatu ke lantai, yang pasti Juan Esteban makin segar dan bersemangat. Wajahnya berkilau karena keringat. Kurasakan bajuku yang basah lengket pada tubuhku.

Alunan lagu yang membangkitkan kenangannya pada Martina, mereda. Kali ini berganti dengan alunan musik yang lebih santai. Tapi rupanya penderitaanku belum berakhir. Juan mulai bercerita tentang kisah cintanya dengan Martina, sambil berkali-kali bilang jangan menceritakan ini pada Javier.

Kurasakan kepalaku pusing, bukan karena harus menemani dia menari ataupun menyimak cerita dia, tapi karena ingatan akan Pedro dan Caras. Dua putraku itu panas tubuhnya naik lagi saat kutinggalkan. ''Apa tidak bisa libur semalam ini, Mario?'' kata Selena, istriku. Wajahnya tampak cemas memandangi Pedro dan Caras. ''Tidak ada dalam kesepakatan,'' ujarku lirih. Aku tak kuasa menatap matanya yang berkaca-kaca.

''Kalau menyalahi kesepakatan kita tidak hanya akan kehilangan upah bulanan, Javier juga akan meminta kembali upah yang sudah habis kita makan,'' kataku dengan suara rendah. Aku bergegas pergi setelah berjanji akan segera pulang apabila tugasku selesai.

Ketika aku sampai di panti Juan Esteban masih bermalas-malasan di kamarnya. ''Halo Juan,'' sapaku sebisa mungkin memasang wajah riang gembira.

''Mario, kau sudah datang rupanya. Hampir saja aku menelepon Javier,'' ujarnya.

''Apakah aku terlambat?'' aku bertanya cemas.

''Tentu saja tidak. Aku hanya ingin meminta pendapatmu tentang pakaian apa yang akan kukenakan malam ini,'' jelasnya.

Aku menarik napas lega. ''Dengan pakaian apa pun kau tetap tampan, Juan,'' kataku, bermaksud menghiburnya.

Lebih dari satu jam aku harus menunggu Juan mandi dan berpakaian. Sebenarnya aku sebal dengan pekerjaan ini. Pekerjaan yang membuatku tampak seperti badut bodoh. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaan ini. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya sangat ringan ini. Aku mendapatkan info pekerjaan ini dari iklan di sebuah koran lokal. Javier dibanjiri surat lamaran dari orang-orang yang ingin memperoleh pekerjaan ini. Entah pertimbangan apa yang membuat Javier akhirnya memilihku. Barangkali karena nasib baikku saja yang membuat Javier menyisihkan puluhan pelamar lain.

Tugasku hanya menjemput Juan Esteban dari panti pukul enam sore, membawanya ke sebuah pub, menemaninya minum bir sampai dia puas, lantas mengantarkan dia kembali ke panti. Selama menemani Juan aku tidak diperkenankan mengaktifkan ponsel. Tugas ini kulakukan hampir setiap malam. Hari liburku bergantung pada Juan. Kalau dia sedang malas ke pub, berarti aku libur. Tapi aku harus selalu siap sedia apabila dia meneleponku untuk menemaninya minum bir di panti. Untuk pekerjaan ini aku mendapat upah lima dolar per jam. Di luar itu Javier juga memberi tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, dan tunjangan perumahan. Aku dikontrak selama setahun. Apabila Juan merasa puas dengan pekerjaanku, Javier akan memperpanjang kontraknya.

''Bila Anda memutus kontrak di luar waktu yang sudah ditentukan, maka Anda tidak hanya harus membayar denda, tapi upah yang sudah Anda terima pun harus dikembalikan separuhnya," papar Javier.

Sebaliknya, apabila Juan sudah tidak berkenan denganku, aku tetap menerima upah dan tunjangan sampai kontrakku habis.

''Saya harap Anda bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik,'' ujar Javier. ''Anda akan mendapat hadiah di luar upah dan tunjangan apabila Juan merasa sangat puas,'' imbuh Javier.

Sebelum aku, Javier pernah mempekerjakan dua orang sekaligus untuk tugas ini. Yakni seorang pensiunan dokter dan mantan tentara. Mereka berbagi tugas menemani Juan minum bir. Tapi sebelum kontrak habis, Juan memecat keduanya. Yang tentara terlalu banyak cerita mengenai pengalamannya perang di Irak dan menganggap enteng komentar Juan. Sementara yang pensiunan dokter selalu menasihati Juan Esteban tentang bahayanya terlalu banyak begadang dan minum bir. ''Ayahku juga tidak menyukai cara mereka menatap matanya,'' ujar Javier. ''Jadi tataplah mata ayahku dengan pandangan takjub. Dan selalulah memasang wajah gembira di depannya. Anda harus menjadi teman diskusi yang menarik, bukan hanya pendengar setia. Bila kamu bisa melakukan ini ayahku akan suka sekali,'' saran Javier.

Tanpa berpikir terlalu lama aku menandatangani kontrak kerja yang disodorkan Javier. Besoknya aku langsung menyuruh Selena berhenti dari pekerjaannya sebagai pramuniaga di sebuah toko retail. ''Kamu di rumah saja mengurus Pedro dan Caras.''

***

Hari mendekati pukul tiga dini hari. Tapi Juan Esteban belum tampak letih sedikit pun. Kali ini dia sudah tidak bicara lagi. Dia membuka topi lakennya, rambutnya yang tipis lekat menempel di kulit kepala. Separuh pengunjung telah surut. Juan meletakkan telapak tangannya pada dagu. Matanya menyapu seisi pub. Entah apa yang dipikirkan. Dia pernah bilang bahwa sebenarnya dia tidak menyukai cara Javier dan anak-anaknya yang lain memperlakukan dirinya. Juan sebenarnya tidak ingin tinggal di panti. Dia ingin tinggal bersama Javier dan melihat perkembangan cucunya. Tapi, begitulah, anak-anak mengirimnya ke panti jompo, tak lama setelah usia Juan menginjak 70. Juan tidak bisa menolak karena ini sudah dianggap seperti kemestian adat. Juan tidak menikah lagi setelah Glebova, istrinya, meninggal oleh penyakit liver sepuluh tahun lalu. Waktu itu bisnis retailnya yang dirintis sejak muda tengah maju pesat. Si sulung Javier telah menikah dan mengelola sebagian usahanya.

Setelah Javier, dua anaknya yang lain, Ramos dan Arroyo, satu per satu menikah, mengambil alih bisnisnya dan meninggalkan Juan dengan cuma ditemani seorang pembantu di rumah. Mereka secara halus menolak ketika Juan mengutarakan keinginan tinggal di salah satu rumah mereka. Karena merasa kesepian Juan akhirnya meminta Javier mengirim ke panti jompo.

Juan menenggak lagi birnya. Aku lupa menghitung, sudah berapa botol bir yang meluncur ke lambung Juan dan sudah berapa kali pula dia ke toilet. Dia menggumamkan sebuah lagu yang tak kukenal. Matanya mengawasi beberapa pelayan yang masih sibuk bekerja melayani pengunjung dan membersihkan meja yang telah kosong. Sesekali ekor matanya melirikku. Rasa bosan yang menyerangku sejak tadi tak dapat lagi kutahan. Aku bangkit, minta izin pada Juan pura-pura ke toilet.

Saat aku kembali kudapati Juan masih menopangkan dagu, memperhatikan seorang pelayan. ''Apa yang kau pikirkan, Juan?'' tanyaku memberanikan diri.

''Kau lihat pelayan itu, Mario? Yang rambutnya dicat hijau,'' ujarnya. Kulihat matanya berkabut. ''Ya, kenapa Juan? Kau tertarik? Bukankah kau masih kuat?''

Juan Esteban terkekeh sebentar. Suaranya terdengar hambar. Sejurus kemudian mimiknya berubah serius. ''Dia mirip Martina,'' ujarnya dengan suara rendah. Aku ingat, Juan pernah bercerita pernah punya pacar gelap bernama Martina, gadis desa yang bekerja sebagai pramuniaga di toko retail miliknya. Setelah Martina hamil, Juan membayar seorang anak muda pengangguran untuk menikahi dan membawa pergi Martina entah ke mana. Dia tidak tahu rahasia ini sudah diketahui Javier dan dua anaknya yang lain.

''Mungkinkah dia anakmu, Juan?'' ujarku. Laki-laki gaek ini melirikku sebentar, lalu meneruskan amatannya pada pelayan itu. ''Perlu kupanggil pelayan itu kemari?'' usulku. Tanpa menunggu persetujuannya aku memanggil pelayan itu.

''Ada yang bisa saya bantu, Tuan?'' kata pelayan itu ramah, bergantian menatapku dan Juan. ''Bisa tambah birnya Nona,'' ujar Juan setelah agak lama terbengong memandang wajah pelayan yang jadi sedikit salah tingkah ditatap serupa itu. Kurasa pelayan itu juga heran dengan permintaan Juan karena di meja kami masih ada dua teko besar berisi bir penuh.

Setelah pelayan itu beranjak mengantarkan pesanan, Juan tidak lagi meneruskan pembicaraan mengenai Martina maupun pelayan yang mengingatkannya pada bekas pacar gelapnya tersebut. Dia mengalihkan pembicaraan tentang pub yang besok akan dikunjunginya untuk minum bir. Setahuku hampir seluruh pub yang ada di kota kecil ini sudah dikunjunginya. ''Aku bosan dengan suasana pub yang begini-begini saja, Mario. Aku ingin mencari pub yang beda,'' ujarnya. ''Masih ada satu pub yang belum kukunjungi di kota ini,'' sambung Juan. Aku mencoba berpikir pub mana yang dimaksud Juan Esteban.

''Pub Gommora, Mario,'' cetus Juan menyebut nama sebuah pub yang khusus untuk kalangan gay.

''Tidak salah, Juan?'' kataku.

''Kamu keberatan, Mario?'' tanya Juan. Aku tak menyahut. Kurasakan ponselku bergetar. Pastilah dari Selena. ***

Mei 2008

*) Cerpen ini terinspirasi dari sebuah berita di harian The Times, London, edisi 24 April 2008

1 komentar:

Sekenhom mengatakan...

salam kenal saya suka cerita2nya