Kamis, 21 Agustus 2008

Cerpen Aris Kurniawan

[ Minggu, 10 Agustus 2008 ]




Lelaki Pub





Cerpen Aris Kurniawan

Malam ini pub tidak seramai kemarin. Kami duduk di meja agak depan, beberapa jengkal dari meja kasir. Sebenarnya aku ingin memilih meja paling belakang supaya leluasa melihat pengunjung lain. Dan tentu saja memperhatikan Tita, pelayan pub bermata sendu itu. Tetapi tentu saja aku tidak mungkin memaksakan keinginanku. Boleh dibilang aku tidak punya pilihan. Semua Juan Esteban yang menentukan. Termasuk di pub mana dia ingin minum bir. Laki-laki tua di depanku ini memang meminta pendapatku saat memilih meja, tapi itu basa-basi belaka. Sebab setiap aku memberi usul Juan selalu bilang, ''Pilihanmu kurang tepat anak muda!'' Kalimat itu masih akan bertambah panjang dengan, ''Anak muda sekarang sering membuat keputusan yang kurang tepat.''

Malam ini Juan Esteban mengenakan pakaian ala koboy: baju corak kotak-kotak dengan garis-garis warna merah marun dan hitam, dipadu rompi kulit, celana jeans belel, dan tak ketinggalan topi laken yang menyembunyikan rambut tipisnya. Hanya saja tak ada pistol di pinggangnya. Mungkin dia ingin mengenang saat menjadi gembala domba pada masa muda dulu.

''Minum apa anak muda?'' tanya Juan Esteban. ''Bir saja, sama denganmu, Juan,'' ujarku.

Tak lama setelah itu pelayan datang mengantarkan pesanan. Dia tersenyum manis pada Juan. Bahkan matanya mengerling nakal. Padaku dia hanya tersenyum alakadarnya. Juan langsung menenggak bir di depannya seperti orang kehausan. Padahal di panti tadi dia baru saja menghabiskan sebotol bir. Cairan berwarna kuning yang berkilauan disentuh pendar lampu itu mengalir deras ke tenggorokannya. Segelas besar bir tandas dalam satu kali teguk. Ujung lidahnya menyapu ceceran bir di sudut bibir. Dia lantas menyulut cerutu. Aroma cerutu segera mengapung memenuhi ruangan pub yang remang-remang bercampur dengan aroma ganja dan parfum para pengunjung.

Walaupun jaraknya cukup jauh dari panti, pub inilah yang paling sering dikunjungi Juan Esteban untuk minum bir. Dibanding yang lain pub ini suasananya memang lebih nyaman dan menyenangkan. Mungkin karena atmosfer gothic yang dihadirkannya. Letaknya tersembunyi di antara deretan toko-toko pakaian dan rumah makan. Pelayannya rata-rata berusia belasan tahun. Mereka adalah mahasiswa yang bekerja paruh waktu.

''Minumlah anak muda. Jangan murung seperti itu. Aku tidak suka melihatnya,'' ujarnya.

Tidak bisa tidak, aku pun meraih gelas bir, menenggaknya perlahan-lahan. Rasa sepat memenuhi rongga mulutku, tapi aku berusaha menikmati. Juan Esteban tampak senang melihatku. Dia tersenyum, lantas menyorongkan cerutu. Matanya berpendar gembira. Dia tampak tampan meski gurat-gurat usia terpahat jelas di raut wajahnya. Sesunguhnya dia orang yang cukup menyenangkan. Dia juga sangat royal apabila dia merasa puas dan terhibur dengan kehadiranku. Dia memberi tips yang cukup buat beli satu stel pakaian dan sepatu. Tentu saja ini di luar tunjangan dan upah yang diberikan Javier padaku tiap bulan.

Hanya saja sikap menyebalkannya muncul saat mulai mabuk. Sebelumnya dia akan berbicara kian kemari tentang apa saja. Paling sering dia bicara tentang masa mudanya. Meski sebal aku mesti menyimaknya, sebab kalau tidak dia akan marah dan mengancam akan melaporkannya pada Javier, putranya, supaya memecatku. Dia tidak hanya menuntutku menyimak pembicaraannya tapi juga mengomentarinya. Sebalnya dia akan menunjukkan sikap tak suka apabila aku memberi komentar negatif. Kalau dia sedang bercerita jangan harap aku punya kesempatan memperhatikan gerakan Tita yang tangkas meladeni pengunjung. Melihat tubuhnya yang ramping namun padat berseliweran dari meja ke meja. Sedikit mataku beralih darinya, Juan Esteban akan menggebrak meja.

Juan kadang menanyakan kabarku, meminta aku bercerita tentang keluargaku, pacarku, kegemaranku, buku-buku yang kubaca, tempat-tempat yang pernah aku kunjungi atau apa saja yang sekonyong melintas di kepalanya. Maka aku akan bercerita. Tapi tentu aku hanya mengarang-ngarang saja. Toh dengan seenaknya dia bisa memotong ceritaku, memberi nasihat-nasihat dan saran yang membosankan, bagaimana mestinya aku bersikap menghadapi setiap persoalan. Selebihnya dia akan berpanjang lebar membanding-bandingkan kisah hidupnya yang terdengar sangat heroik.

Tengah malam sudah lama lewat. Juan Esteban masih tampak segar. Belum ada tanda-tanda akan mabuk. Pub makin ramai dengan sajian live music. Lagu Manuela milik Julio Iglesias melantun dari mulut penyanyi di panggung. Mata Juan mengerjap-ngerjap gembira. Kepalanya tampak bergerak ke depan dan ke belakang mengikuti irama musik. ''Ini lagu kesukaanku, inilah lagu yang menandai kisah cintaku dengan Martina,'' ujarnya.

Manuela, Manuela

Manuela, Manuela

Como a noite

Como un sonho

Sao os olhos

Negros meu amor, Manuela

Como a flor na primavera

Como a lue chea e assim, Manuela

Dia turut melengkingkan syair lagu dengan suaranya yang terdengar serak. Nama Manuela dalam lirik lagu tersebut dia ganti menjadi Martina. Sementara gerakan kepalanya makin bersemangat meniru gerakan penyanyi di panggung. Dia memintaku ikut bangkit menggerak-gerakkan tubuh mengikuti irama. Entah berapa lama kami menari mengentak-ngentakkan sepatu ke lantai, yang pasti Juan Esteban makin segar dan bersemangat. Wajahnya berkilau karena keringat. Kurasakan bajuku yang basah lengket pada tubuhku.

Alunan lagu yang membangkitkan kenangannya pada Martina, mereda. Kali ini berganti dengan alunan musik yang lebih santai. Tapi rupanya penderitaanku belum berakhir. Juan mulai bercerita tentang kisah cintanya dengan Martina, sambil berkali-kali bilang jangan menceritakan ini pada Javier.

Kurasakan kepalaku pusing, bukan karena harus menemani dia menari ataupun menyimak cerita dia, tapi karena ingatan akan Pedro dan Caras. Dua putraku itu panas tubuhnya naik lagi saat kutinggalkan. ''Apa tidak bisa libur semalam ini, Mario?'' kata Selena, istriku. Wajahnya tampak cemas memandangi Pedro dan Caras. ''Tidak ada dalam kesepakatan,'' ujarku lirih. Aku tak kuasa menatap matanya yang berkaca-kaca.

''Kalau menyalahi kesepakatan kita tidak hanya akan kehilangan upah bulanan, Javier juga akan meminta kembali upah yang sudah habis kita makan,'' kataku dengan suara rendah. Aku bergegas pergi setelah berjanji akan segera pulang apabila tugasku selesai.

Ketika aku sampai di panti Juan Esteban masih bermalas-malasan di kamarnya. ''Halo Juan,'' sapaku sebisa mungkin memasang wajah riang gembira.

''Mario, kau sudah datang rupanya. Hampir saja aku menelepon Javier,'' ujarnya.

''Apakah aku terlambat?'' aku bertanya cemas.

''Tentu saja tidak. Aku hanya ingin meminta pendapatmu tentang pakaian apa yang akan kukenakan malam ini,'' jelasnya.

Aku menarik napas lega. ''Dengan pakaian apa pun kau tetap tampan, Juan,'' kataku, bermaksud menghiburnya.

Lebih dari satu jam aku harus menunggu Juan mandi dan berpakaian. Sebenarnya aku sebal dengan pekerjaan ini. Pekerjaan yang membuatku tampak seperti badut bodoh. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaan ini. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya sangat ringan ini. Aku mendapatkan info pekerjaan ini dari iklan di sebuah koran lokal. Javier dibanjiri surat lamaran dari orang-orang yang ingin memperoleh pekerjaan ini. Entah pertimbangan apa yang membuat Javier akhirnya memilihku. Barangkali karena nasib baikku saja yang membuat Javier menyisihkan puluhan pelamar lain.

Tugasku hanya menjemput Juan Esteban dari panti pukul enam sore, membawanya ke sebuah pub, menemaninya minum bir sampai dia puas, lantas mengantarkan dia kembali ke panti. Selama menemani Juan aku tidak diperkenankan mengaktifkan ponsel. Tugas ini kulakukan hampir setiap malam. Hari liburku bergantung pada Juan. Kalau dia sedang malas ke pub, berarti aku libur. Tapi aku harus selalu siap sedia apabila dia meneleponku untuk menemaninya minum bir di panti. Untuk pekerjaan ini aku mendapat upah lima dolar per jam. Di luar itu Javier juga memberi tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, dan tunjangan perumahan. Aku dikontrak selama setahun. Apabila Juan merasa puas dengan pekerjaanku, Javier akan memperpanjang kontraknya.

''Bila Anda memutus kontrak di luar waktu yang sudah ditentukan, maka Anda tidak hanya harus membayar denda, tapi upah yang sudah Anda terima pun harus dikembalikan separuhnya," papar Javier.

Sebaliknya, apabila Juan sudah tidak berkenan denganku, aku tetap menerima upah dan tunjangan sampai kontrakku habis.

''Saya harap Anda bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik,'' ujar Javier. ''Anda akan mendapat hadiah di luar upah dan tunjangan apabila Juan merasa sangat puas,'' imbuh Javier.

Sebelum aku, Javier pernah mempekerjakan dua orang sekaligus untuk tugas ini. Yakni seorang pensiunan dokter dan mantan tentara. Mereka berbagi tugas menemani Juan minum bir. Tapi sebelum kontrak habis, Juan memecat keduanya. Yang tentara terlalu banyak cerita mengenai pengalamannya perang di Irak dan menganggap enteng komentar Juan. Sementara yang pensiunan dokter selalu menasihati Juan Esteban tentang bahayanya terlalu banyak begadang dan minum bir. ''Ayahku juga tidak menyukai cara mereka menatap matanya,'' ujar Javier. ''Jadi tataplah mata ayahku dengan pandangan takjub. Dan selalulah memasang wajah gembira di depannya. Anda harus menjadi teman diskusi yang menarik, bukan hanya pendengar setia. Bila kamu bisa melakukan ini ayahku akan suka sekali,'' saran Javier.

Tanpa berpikir terlalu lama aku menandatangani kontrak kerja yang disodorkan Javier. Besoknya aku langsung menyuruh Selena berhenti dari pekerjaannya sebagai pramuniaga di sebuah toko retail. ''Kamu di rumah saja mengurus Pedro dan Caras.''

***

Hari mendekati pukul tiga dini hari. Tapi Juan Esteban belum tampak letih sedikit pun. Kali ini dia sudah tidak bicara lagi. Dia membuka topi lakennya, rambutnya yang tipis lekat menempel di kulit kepala. Separuh pengunjung telah surut. Juan meletakkan telapak tangannya pada dagu. Matanya menyapu seisi pub. Entah apa yang dipikirkan. Dia pernah bilang bahwa sebenarnya dia tidak menyukai cara Javier dan anak-anaknya yang lain memperlakukan dirinya. Juan sebenarnya tidak ingin tinggal di panti. Dia ingin tinggal bersama Javier dan melihat perkembangan cucunya. Tapi, begitulah, anak-anak mengirimnya ke panti jompo, tak lama setelah usia Juan menginjak 70. Juan tidak bisa menolak karena ini sudah dianggap seperti kemestian adat. Juan tidak menikah lagi setelah Glebova, istrinya, meninggal oleh penyakit liver sepuluh tahun lalu. Waktu itu bisnis retailnya yang dirintis sejak muda tengah maju pesat. Si sulung Javier telah menikah dan mengelola sebagian usahanya.

Setelah Javier, dua anaknya yang lain, Ramos dan Arroyo, satu per satu menikah, mengambil alih bisnisnya dan meninggalkan Juan dengan cuma ditemani seorang pembantu di rumah. Mereka secara halus menolak ketika Juan mengutarakan keinginan tinggal di salah satu rumah mereka. Karena merasa kesepian Juan akhirnya meminta Javier mengirim ke panti jompo.

Juan menenggak lagi birnya. Aku lupa menghitung, sudah berapa botol bir yang meluncur ke lambung Juan dan sudah berapa kali pula dia ke toilet. Dia menggumamkan sebuah lagu yang tak kukenal. Matanya mengawasi beberapa pelayan yang masih sibuk bekerja melayani pengunjung dan membersihkan meja yang telah kosong. Sesekali ekor matanya melirikku. Rasa bosan yang menyerangku sejak tadi tak dapat lagi kutahan. Aku bangkit, minta izin pada Juan pura-pura ke toilet.

Saat aku kembali kudapati Juan masih menopangkan dagu, memperhatikan seorang pelayan. ''Apa yang kau pikirkan, Juan?'' tanyaku memberanikan diri.

''Kau lihat pelayan itu, Mario? Yang rambutnya dicat hijau,'' ujarnya. Kulihat matanya berkabut. ''Ya, kenapa Juan? Kau tertarik? Bukankah kau masih kuat?''

Juan Esteban terkekeh sebentar. Suaranya terdengar hambar. Sejurus kemudian mimiknya berubah serius. ''Dia mirip Martina,'' ujarnya dengan suara rendah. Aku ingat, Juan pernah bercerita pernah punya pacar gelap bernama Martina, gadis desa yang bekerja sebagai pramuniaga di toko retail miliknya. Setelah Martina hamil, Juan membayar seorang anak muda pengangguran untuk menikahi dan membawa pergi Martina entah ke mana. Dia tidak tahu rahasia ini sudah diketahui Javier dan dua anaknya yang lain.

''Mungkinkah dia anakmu, Juan?'' ujarku. Laki-laki gaek ini melirikku sebentar, lalu meneruskan amatannya pada pelayan itu. ''Perlu kupanggil pelayan itu kemari?'' usulku. Tanpa menunggu persetujuannya aku memanggil pelayan itu.

''Ada yang bisa saya bantu, Tuan?'' kata pelayan itu ramah, bergantian menatapku dan Juan. ''Bisa tambah birnya Nona,'' ujar Juan setelah agak lama terbengong memandang wajah pelayan yang jadi sedikit salah tingkah ditatap serupa itu. Kurasa pelayan itu juga heran dengan permintaan Juan karena di meja kami masih ada dua teko besar berisi bir penuh.

Setelah pelayan itu beranjak mengantarkan pesanan, Juan tidak lagi meneruskan pembicaraan mengenai Martina maupun pelayan yang mengingatkannya pada bekas pacar gelapnya tersebut. Dia mengalihkan pembicaraan tentang pub yang besok akan dikunjunginya untuk minum bir. Setahuku hampir seluruh pub yang ada di kota kecil ini sudah dikunjunginya. ''Aku bosan dengan suasana pub yang begini-begini saja, Mario. Aku ingin mencari pub yang beda,'' ujarnya. ''Masih ada satu pub yang belum kukunjungi di kota ini,'' sambung Juan. Aku mencoba berpikir pub mana yang dimaksud Juan Esteban.

''Pub Gommora, Mario,'' cetus Juan menyebut nama sebuah pub yang khusus untuk kalangan gay.

''Tidak salah, Juan?'' kataku.

''Kamu keberatan, Mario?'' tanya Juan. Aku tak menyahut. Kurasakan ponselku bergetar. Pastilah dari Selena. ***

Mei 2008

*) Cerpen ini terinspirasi dari sebuah berita di harian The Times, London, edisi 24 April 2008

Cerpen FASUNARYONO BASUKI KS

[Jawa Pos Minggu, 03 Agustus 2008 ]




Sirene Polisi dan

Spotlight Helikopter





Cerpen FASUNARYONO BASUKI KS

Rasanya sebilah pisau berkilat di leherku mendengar raung sirene mobil polisi, beberapa buah kedengarannya, menyerbu lingkungan yang hanya sejengkal dari kulitku. Apakah polisi datang mengepung tempat kami tinggal? Tapi kami penghuni sah, sepuluh orang dalam sepuluh kamar, pemegang paspor dinas dan peserta program Refresher C Dirjen Dikti. Di Columbus hanya lima bulan, menulis buku ajar masing-masing dalam bidang keahlian kami. Tak ada hubungannya dengan drug business, juga bukan bisnis penyelundupan.

Memang, walau terasa menempel di telinga, ternyata raung sirene itu tidak menuju rumah kami. Dari jendela kecil di kamarku di lantai atas, kelihatan beberapa mobil polisi dengan lampu-lampu merah-biru byar pet, dan di langit sebuah helikopter menderu, spotlightnya menyorot wilayah yang dikepung. Cahaya spotlight itu mengingatkanku pada lampu kereta api yang melintas Desa Pakisaji pada malam hari, suatu malam di tahun 1948. Ular naga raksasa berwarna hitam itu mendengus-dengus memompakan uap panas dari lubang-lubang hidungnya: jes-jes-jes-jes-wuuzzz... Aku selalu berlari ke tepi rel kereta api yang hanya berada dua puluh meter dari halaman rumah nenek yang terletak di seberang stasiun kecil, terpesona oleh cahaya sorot mata naga yang menembus gelap malam. Kereta dari Kepanjen mungkin juga dari Blitar menuju Malang Kota, di malam hari.

Peristiwa di depan hidung itu terasa jauh. Di Malang, kalau ada keributan di luar rumah, orang-orang keluar rumah dan saling bertanya. Ada maling tertangkap. Ada pasangan selingkuh tertangkap basah. Tetapi di sini, kami memilih untuk tinggal di dalam kamar. Dari jendela kamar tak terlihat ada orang lain selain polisi yang sibuk, padahal jam baru menunjukkan sebelas malam. Bar baru saja tutup, jalanan lengang. Esok paginya TV lokal menyiarkan beritanya. Katanya, komplotan pengedar obat terlarang ditangkap, lengkap dengan data lokasi penangkapan. Padahal, kami yang bertetangga tuli.

Columbus bukan kota yang sangat besar, walaupun kota ini ibu kota Ohio State. Cleveland dan Cincinatti katanya jauh lebih ramai, dan pasti jauh lebih banyak tindak kejahatan. Kalau aku menumpang bus ke arah luar kota, aku sering membaca papan peringatan di mulut sebuah jalan: hati-hati di malam hari! Tidak aman. Awas penodongan, penjambretan! Kegemaran kami berkelana ke tempat-tempat belanja membuat kami menumpang bus kota ke arah luar kota. Aneh, semua pusat belanja, yang berupa mall, terletak di ujung-ujung luar kota. Mall sendiri bangunannya tak menarik nampak dari luar. Mirip gudang raksasa dengan tempat parkir sangat luas. Tetapi memasukinya kita disambut toko-toko dan taman-taman di dalamnya.

Dengan santai aku dapat duduk di bangku-bangku taman sebelum menjelajah toko-toko yang ada. Sebetulnya tak ada yang unik. Paling JC Penny dan semacamnya, atau kalau di Inggris Mark & Spencer. Tetapi di mall itu juga terdapat bermacam restoran tempat kami makan siang. Padahal, ada satu toko besar di dalam kota, Toko Lazarus, yang setiap pekan terakhir, seluruh barang di lantai enam diobral sangat murah. Orang yang belanja mengangkut barang belanjaannya dalam kantung plastik hitam besar yang biasa dipakai tempat sampah, memanggulnya di punggung, seperti maling membawa barang curian.

Washington lain lagi. Kota besar, ibu kota negara, dan aku merasa tak nyaman tinggal beberapa malam. Menginap di Ramada Inn bersama rombongan. Sekamar aku bertiga bersama Riza dan Narji, ke mana-mana pergi bertiga. Aku dan Narji yang dosen Penjaskes itu berbadan besar, toh nyaliku kecil saat segerombolan pemuda negro meneriaki kami dari tepi jalan, melontarkan kata-kata yang tak kupahami, padahal aku dosen bahasa Inggris. Di seberang jalan, seorang polwan siap berjaga, lengkap dengan pistol di pinggang. Padahal di Inggris, polisi hanya membawa pentungan. Di dalam kedai fried chicken pun ada security yang bersenjata pistol. Untung di Chicago aku hanya singgah di Bandara O'Hare beberapa kali. Kalau aku harus turun ke kota, pasti akan terjerat cerita ''Arak Gelap di Chicago'' yang pernah kubaca di masa kanak-kanak. Entah bagaimana pula keadaan di kota yang terkenal dengan tindak kejahatannya itu.

Rasanya berbeda dengan tinggal di Inggris. Aku tinggal di Leeds selama sembilan bulan, tak satu kali pun mendengar suara sirene mobil polisi, padahal Leeds disebut Metropolitan City. Aku merasa aman berjalan di jalan-jalannya yang sepi. Lampu jalan yang berwarna kuning menyebabkan perempuan yang muncul dari belokan bagaikan wajah hantu, rias wajahnya mengerikan, tetapi tak ada ancaman. Sering aku ngobrol di rumah teman sampai jam satu pagi, dan di sepanjang jalan yang kosong tak pernah merasa terancam. Apalagi di Lancaster yang kutinggali selama 12 bulan penuh. Aku tinggal di asrama dalam kampus Lancaster University yang luas. Di kampus itu terdapat satu kolam renang, tempat main squash, dan 50 lapangan tenis, belum lagi lapangan terbuka untuk olahraga yang lain. Ada taman kanak-kanak, asrama khusus bagi yang sudah berumah tangga, dan hutan yang mengelilinginya, tempatku melakukan jalan kaki pada Ahad pagi. Di pintu kamar selalu kugantungkan tanda: Sunday walk, around campus. Dan teman-temanku tahu bahwa aku suka menelusup ke dalam hutan kampus.

Aku juga pernah tinggal di Canterbury dan Arberdeen selama sebulan, dan dalam masa-masa pendek berkali-kali bekunjung ke Edinburgh, London, dan tentu ke kota kecil Marske-by-the Sea di selatan Newcastle upon Tyne berkunjung ke keluarga Sasti dan Richard Watson. Di Canterbury aku juga dijamu Bill Watson dengan anak-anaknya yang ayu, Dewi dan Putri.

Tapi di London aku selalu menginap di rumah Dr Peter Southwell, teman Ridwan, kecuali saat aku diundang sebagai sarjana tamu oleh The British Council, aku dimanja dengan tinggal di hotel dan diberi uang saku.

Pada Peter aku bilang, aku akan berkunjung ke rumah Annabel Gallop, pustakawati yang bekerja di The British Library seksi Melayu.

''Di mana dia tinggal?'' kata Peter sambil memberiku kunci pintu depan.

''Di wilayah selatan sini juga, di Bromley.''

''Hah! Hati-hati di malam hari. Tidak aman.''

Toh aku berangkat dengan mengucap basmallah dan sampai dengan selamat di rumah Annabel dan disambut dengan makan malam dengan lauk ayam bumbu kecap. Annabel juga mengangkat telepon memperkenalkan padaku dengan Pak Boediardjo, yang sudah lepas dari penjara Soeharto tapi gagal bergabung dengan istri dan anak-anaknya yang punya kewarganegaraan Inggris. Besok paginya aku harus bertemu lelaki tua itu, yang hidup sendirian, dan pasti sangat kesepian.

Kekhawatiran Peter tak terbukti. Aku kembali selamat ke rumahnya. Yang mendebarkan justru sebelum aku berangkat ke Inggris. Gara-gara ingin beli stiker bendera merah putih, aku menaiki tangga penyeberangan di Jalan Sudirman di depan Komdak. Memang di lantai jembatan ada beberapa pedagang, satu di antaranya menggelar aneka stiker. Aku asyik memilih saat kudengar suara: ''Jangan takut! Tenang aja!''

Saat aku menoleh ke kanan, kulihat seorang gadis mengenakan seragam sekolah putih abu-abu, dikerubut tiga lelaki, salah seorang di antaranya memegang pisau belati yang menempel di lehernya. Gadis itu menangis tetapi mereka tak peduli. Hanya empat meter di sebelah kananku. Aku gemetar. Apakah akan kugunakan ilmu bela diriku? Kalau aku selamat dengan melumpuhkan mereka, siapa yang tanggung bahwa di bawah tak ada lelaki lain yang tanpa basa-basi menusukkan pisaunya ke perutku? Jantungku berdegup keras, aku mengucap doa dan menuju ke arah mereka. Makin dekat aku makin berdebar dan kemudian kulewati mereka dengan tergesa dan langsung kuturuni tangga, sepi tak ada orang. Mereka tak memperhatikanku. Andaikata perhatiannya terpecah padaku, mungkin mereka bisa menyerobot beberapa ratus ribu dari dompetku. Tapi hal itu tak terjadi. Andai terjadi, mungkin aku juga mengalami nasib sama dengan Mas Slamet Sukirnanto, yang ditodong dan kehilangan uang setengah juta kemudian mengalami stroke. Kata anak-anaknya, ''Padahal, bapak biasanya ikhlas. Ini bukan kali pertama dia ditodong.''

Mungkin sebilah pisau menempel di lehernya, dan karena usia tuanya, tak tahan lagi atas perlakuan itu. Mungkin dia juga sedih, kenapa rakyat yang dibelanya dalam pusi-puisinya justru menodai kepercayaannya.***

Singaraja, 31 Juli 2008

Cerpen Fakhrunnas MA Jabbar

[ Minggu, 27 Juli 2008 ]




Bulan Jatuh di Orchard Road



Cerpen Fakhrunnas MA Jabbar

AKU terkesima tiba-tiba saat menatap bulan agak redup bergelantungan di atas Orchard Road. Bulan itu bernyanyi-nyanyi di kejauhan. Malam belum merangkak jauh. Angin laut terasa sejuk mengusap wajahku. Tapi tubuhku yang dibalut jaket tipis terasa kian hangat. Aku bagai menyulam mimpi kala Aras memelukku. Sungguh aku bagai tak berpijak di bumi. Sementara lalu-lalang ratusan pejalan kaki di depanku nyaris tak kuhirau lagi. Hanya kudengar hening di antara gemerisik dedaunan rindang yang berjajar di sepanjang jalan raya Kota Singapura.

Singapura, sungguh aku sedang tidak bermimpi malam ini! Jeritku dalam hati ketika menatap lelaki yang kini mendekapku. Seketika pula kusaksikan rembulan yang redup berubah cerah. Suara nyanyiannya kian deras menggetarkan jantungku. Burai cahayanya di sela-sela awan bagai menyapaku. ''Reguklah kemesraanmu malam ini, Tin!'' bisik bulan itu lembut menyelinap ke dalam jantungku.

Kucubit lengan kiriku agak sembunyi-sembunyi. Itu kulakukan sekadar memastikan aku bukan sedang mengkhayal. Saat kucoba menatap sekeliling dengan pikiran yang jernih, aku jadi begitu yakin bahwa aku sedang menikmati kebahagiaan yang sudah belasan tahun silam sirna. Terus terang, aku pernah memimpikan suasana seperti ini bersama mendiang suamiku saat berada dalam bahtera rumah-tangga selama lebih 10 tahun. Tapi, impian itu selalu berakhir kecewa karena suamiku lebih mementingkan bisnisnya dibanding kehangatan kasih. Pernah beberapa kali aku singgah di Singapura dan menyusuri Orchard Road sendirian di sela-sela waktu istirahatku terbang sebagai pramugari untuk 2-3 hari. Selalu saja, perenunganku dalam kesendirian itu berakhir kecewa.

Sungguh, dulu, semasa gadisku di sebuah kota kecil di sempadan Selat Melaka, aku punya impian untuk menikmati suasana seperti ini di jantung Negeri Tumasik itu. Aku pernah begitu terbius oleh kisah percintaan Sir Djoon dan Si Nona yang termaktub di dalam cerita Mencari Pencuri Anak Perawan yang ditulis pujangga kesukaanku, Soeman Hs. Bukan apa-apa, impian itu begitu kukuh bersemayam dalam pikiranku karena Emak pernah bercerita bahwa Si Nona itu sesungguhnya masih berkait-zuriat dengan nenekku. Konon, kisah kasih nenekku itulah yang mengilhami pujangga yang tunak menghirup adat-resam Melayu sehingga menulis roman terkenal itu. Meski, kutahu, Soeman sendiri berdarah Tapanuli. Begitulah, pengarang yang masyhur ini menabalkan ungkapan: di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Malam ini, aku benar-benar merasa jadi Si Nona bersama seorang lelaki yang menyayangiku, layaknya seorang Sir Djoon. Persis seperti berlaku dalam kisah roman yang berlangsung di awal tahun 1900-an itu. Kami masih saja saling menghangatkan tubuh sambil meremas jemari masing-masing penuh kelembutan. Kucoba menatap Aras, anak jati Melayu yang memahami bagaimana membahagiakan seorang perempuan seperti aku. Aku benar-benar merasa berbahagia tiada tara di ujung usia kami yang separuh baya.

''Sudah belasan tahun kunantikan saat-saat seperti ini. Bagiku, kau adalah segalanya. Aku bagaikan terlahir kembali setelah tenggelam dalam usia. Kau begitu bijak memperlakukanku sebagai seorang kekasih di sisa usia kita,'' ucapku terbata-bata.

''Ya, aku merasakan getaran itu bagai senar gitar berdenting-denting di hatiku. Aku juga bagai budak-belia semasa kita bersekolah dulu. Aku pernah jatuh cinta padamu tapi tak berkelanjutan. Kinilah saatnya aku menebusnya, Tin,'' sahut Aras.

''Cinta pertama selalu abadi,'' lanjut lelaki itu.

Mulutku terkunci saat mengenang masa-masa silam yang sudah tertinggal jauh. Aras memang pernah melabuhkan cinta-kasihnya di pelabuhan jiwaku. Sepucuk surat merah jambu memang masih jadi saksi atas peristiwa yang berlangsung di usia belia kami. Namun, aku tak pernah berpikir soal percintaan meski kutahu banyak lelaki yang berusaha merebut simpatiku. Aku selalu menganggap semua simpati itu bagai angin lalu saja.

***

Pertemuanku kembali dengan Aras beberapa tahun lalu bagaikan sebuah perjalanan takdir belaka. Bagai ada tangan gaib yang menggiring pertautan batin kami. Saat kami bertemu setelah cukup lama saling melupakan, justru aku baru saja kehilangan suamiku yang menitipkan dua putri kecil, Sofi dan Nayla. Begitu pula Aras yang datang dengan segala kehampaan hidupnya dan berada di ambang perceraian. Padahal, ia sudah memiliki lima anak yang sudah belia pula.

Kisah-kasih kami terasa unik dan lucu. Kami bagaikan menyelami kebahagiaan baru di samudera kasih yang tak bertepi. Bagaikan dua ekor belibis yang mengibas-kibaskan kepaknya saat disirami embun malam yang dingin. Pertautan hati kami saling menyempurnakan. Di masa silam kami masing-masing selalu saja ternganga rasa kecewa karena kekurangan-kekurangan yang ada pada pasangan kami.

''Kita memiliki masa lalu yang tidak sempurna. Kinilah saatnya kita sempurnakan, Ras,'' ucapku sambil merasakan kehangatan bibir Aras. Ah, budak Melayu yang satu ini begitu pandai menggetarkan jaring-jaring bahagiaku yang sudah lama bungkam.

Hampir separo malam kami lewati bersama di penggalan Orchard Road. Cahaya bulan kian benderang. Memang, aku menyaksikan bulan bundar yang sedang merajut purnama itu bagaikan jatuh dan tersangkut di reranting pohon besar di sekeliling kami. Cahaya gemerlapan itu menyelinap ke dalam jantung kami. Oh, de silentio!

Hari-hari bahagiaku bersama Aras bagaikan arus Selat Melaka yang mengalir deras di bawah permukaan. Perjalanan kasih yang telah mengantarkan kami di negeri pulau ini memang tak begitu terencana. Suatu ketika, aku bercerita padanya soal impian masa laluku yang tak pernah berkesampaian. Apalagi, kampung halaman kami yang berseberangan dengan negeri jiran itu selalu menyergam tiba-tiba semasa aku masih kecil dulu. Kehebatan Singapura sudah jadi buah-bibir orang-orang kampungku yang ber-semokel ke negeri itu. Kemelimpahan dan kemewahaan negeri jiran itu sudah amat dikenal oleh saudara-mara kami. Buktinya, Datukku dulu, konon, meraih kelebihan harta-benda lewat perdagangan lintas-batas yang penuh risiko itu karena selalu diamuk gelombang dan badai Selat Melaka yang ganas di masa itu. Apalagi, tongkang kayu yang berukuran kecil dengan menggunakan mesin bertenaga apa adanya.

Lebih dari itu, Datukku menemukan jodohnya, anak angkat China yang ''dibeli'' mertuanya dulu di Negeri Singa itu. Kutahu, cukup banyak orang-orang kampungku yang melakukan hal sama sehingga keturunan yang bekembang merupakan perpaduan Melayu-China yang berkulit kuning dan mata agak sipit namun dengan semangat wira Hang Tuah dan Hang Jebat. Konon, kulit kuning langsatku dan mata yang agak sipit sebagai bukti asal-usul keturunanku seperti itu.

Kini, aku bertemu Aras setelah kisah perkawinanku selama belasan tahun dengan seorang lelaki terkubur bersama jasadnya. Kini aku benar-benar sedang kembali ke ''rumah'' Melayuku bagaikan ''pinang pulang ke tampuk''. Saat berada di negeri Singa mengisi masa liburan percintaan kami, aku merasa bagaikan berada dalam pelukan seorang sang Nila Utama yang gagah. Aku bagaikan sedang mereguk kembali kejayaan tahta Melayu di negeri yang dipenuhi orang-orang berbilang asal dari seluruh dunia dengan mayoritas keturunan China.

Semakin Aras dekat dalam kehidupanku, semakin kentara betapa kehadiran lelaki itu amat bermakna. Aku merasa hari-hari kosongku selama bertahun-tahun telah terisi kembali. Aras benar-benar segalanya bagiku. Tidak hanya aku, tapi juga bagi Sofi dan Nayla yang beranjak besar. Aras pun memperlihatkan kesungguhannya untuk merajut masa depan bersamaku. Itulah anugerah terbesar yang kurasakan di penggal akhir usiaku.

***

Sepulang menghirup udara malam dan menikmati burai cahaya rembulan di Orchard Road pada malam ketiga itu, aku menyaksikan wajah Aras begitu berbinar-binar. Tak ada beban pikiran apa-apa di wajahnya. Padahal, kutahu, lelaki berperawakan tenang itu bukannya tidak ada persoalan. Selain urusan keluarganya yang sudah di ambang kehancuran, ia juga bertarung dengan urusan kantor yang tak habis-habisnya. Situasi serupa itulah yang menantangku untuk mencurahkan segalanya buat Aras. Aku tak ingin ia hancur. Dan, kini, hidupku hanya buat Aras dan kedua malaikat kecilku.

Tiap malam kusaksikan rembulan di Orchard Road itu jatuh dan menebar cahaya di sekelilingku. Nyanyiannya mendayu-dayu bagai mendoakan kebahagiaan kami untuk selamanya. Suasana ini selalu membangkitkan kembali semangat hidup kami berdua.

''Tin, jalan yang terbentang di depan kita masih panjang. Masih kuatkah kau melangkah bersamaku?'' tanya Aras tiba-tiba mengejutkan lamunanku.

Aku agak terhenyak merenung kalimat bersayap itu. Kutatap mata Aras yang agak lembab karena menahan pilu hatinya mengenang prahara hidup yang sedang menimpanya. Bola mata yang sayu itu memang selalu jadi tumpuan perhatianku bila bertemu Aras.

''Jangan pernah tanyakan itu lagi, Ras. Tak ada kata letih bagi orang yang sudah memulai sebuah perjalanan. Hidup hanya tersedia bagi orang yang suka berjuang. Dan aku sudah memulainya...,'' sahutku agak hati-hati.

Aras mengusap wajah dan rambutku. Mesra sekali. Kemudian ia mendekapkan pipinya ke telingaku. Suasana seperti inilah yang sering hinggap di ranting-ranting kenanganku bila kami terpisah jauh untuk beberapa lama.

Sekumpulan burung menaburi langit Singapura petang itu. Kepak mereka melambai-lambai saat beriringan. Aku jadi teringat ketika Aras menceritakan bagaimana burung yang terbang kian kemari juga butuh tempat bersinggah di dalam hidupnya. Percintaan kami pun laksana burung-burung itu. Terus saja menemukan tempat istirah.

''Berapa lama lagi perjalanan panjang ini kita lewati, Ras?'' tanyaku sambil menyandar di bahu lelaki itu. Aras tampak bungkam. Lama ia menekur. Aku tahu pikirannya sedang melayang-layang mengenang persoalan yang menyebatnya dari waktu ke waktu selama belasan tahun di masa silamnya.

Burung-burung yang sejak tadi berkeliaran dengan suara cicit yang bersahutan, kini tiba-tiba senyap. Belasan burung yang berbaur sesamanya sempat hinggap di ranting-ranting pohon besar di sepanjang Orchard Road itu. Aku menatap sepasang burung yang saling mendekap dari kejauhan. Sungguh, aku ingin seperti burung itu. Menemukan tempat bernaung.

***

''Tin, kaulah istriku kini...''

Bisikan Aras itu kudengar dua tahun kemudian. Bulan selalu dan selalu saja jatuh di Orchard Road di malam-malam yang diam. Dan, burung-burung sore masih saja berkeliaran menembus awan putih kebiruan. Langit Singapura pun merona. (: t.a)

---

Catatan:

Orchard Road: jalan raya paling ramai di jantung Singapura

Negeri Tumasik : nama asal Singapura di masa Kerajaan Melayu Riau dulu.

Sempadan: perbatasan

Zuriat : keturunan

Sir Djoon dan Si Nona: nama tokoh utama dalam roman Mencari Pencuri Anak Perawan

Anak jati Melayu: putra asli

De silentio : kesunyian

Semokel : perdagangan lintas batas dengan sistem barter

Saudara-mara : sanak saudara

Hang Tuah dan Hang Jebat : tokoh/pahlawan Melayu yang dipercaya pernah hidup di Melaka dan Riau.

Sang Nila Utama : pendiri Kesultanan Tumasik (Singapura)

Cerpen Lan Fang


[ Jawa Pos Minggu, 20 Juli 2008 ]


LAILA























Cerpen Lan Fang




Apakah yang paling kusukai dari sebuah perjalanan? Menembus butanya malam! Pekat terasa tak berujung. Aku adalah sebuah titik kecil yang menerobos gelap. Di antara titik-titik lainnya. Titik-titik lampu jalanan, titik-titik mobil yang berpapasan atau titik-titik rumah penduduk di tepi jalan.

Mobil yang membawa tubuhku menyalip mobil lain yang ada di depannya. Aku tidak merasa tubuhku bergoyang-goyang karenanya. Tetapi ketika angin masuk melalui kaca jendela mobil yang terbuka, kurasakan cahaya kecilku terguncang.

''Uh! Dingin!'' ujar sopir sambil menaikkan kaca jendela mobil.

''Ya, udara Jember belakangan ini tidak nyaman. Hujan terus-menerus,'' sahut laki-laki di sampingnya.

''Surabaya juga,'' sahut sopir sambil terus melajukan mobil.

''Apa kita bisa masuk Surabaya sebelum subuh?''

''Mudah-mudahan. Jember sudah jauh di belakang. Sebentar lagi kita sampai di Probolinggo.''

Aku juga berharap demikian. Bisa segera sampai di Surabaya. Dua hari yang lalu, aku berangkat ke Jember untuk bermain di sebuah pementasan sandiwara.

Aku ingat sekali nada suaranya ketika itu. Ia tidak pernah mengatakan ''tidak'' untuk apa saja yang ingin kulakukan. Ia selalu mengiyakan apa yang kuinginkan. Tetapi aku tahu betul bentuk kata-kata lain yang mengungkapkan keberatannya. ''Kamu kan tidak ingin jadi pemain sandiwara?''

Lalu, seperti biasa, aku pun ngeyel. Kuceritakan bagaimana seriusnya latihanku berbulan-bulan untuk melakonkan Laila, tokoh dalam naskah Pesta Pencuri yang hendak dipentaskan itu.

Laila adalah perempuan cantik yang kesepian dengan kecantikannya. Ia tidak bisa membuat dirinya mencintai seseorang kecuali dirinya sendiri. Sedang dirinya begitu kosong. Tak punya cinta. Maka, bagaimana dia bisa mencintai? Yang dia bisa hanyalah menangis dengan merana.

Seperti biasa ia tertawa mendengarkan ceritaku. ''Kamu bisa menangis?''

Ia memang tidak pernah melihatku menangis. Sebab ia selalu membuatku tertawa. Kalaupun ia membuatku menangis, itu selalu kulakukan dengan diam-diam. Menangis tanpa air mata. Menangis tanpa suara. Menangis tidak di depannya. Kurasa itu lebih mudah daripada harus berpura-pura menangis dengan sungguh-sungguh.

''Selamat jalan-jalan,'' akhirnya ia berkata begitu. Ia tahu betul bahwa ia tidak bisa menghentikan keinginanku. Maka, aku merasa selalu mementingkan keinginanku sendiri. Tetapi, karena itu pulalah, aku tidak bisa menemukan orang lain yang selalu memenuhi keinginanku, kecuali dia.

Jember bergerimis membuat gedung yang kutuju terasa begitu tua dan letih. Dindingnya pucat dan bergelembung ketika air merembes dari plafon. Lantai lembab seperti menyerap basah dari pori-pori tanah. Jendela kusam menyaksikan tubuhku disergap gigil.

Dingin merayap cepat dari ujung kaki menuju jantungku. Entah bagaimana, tahu-tahu saja dingin sudah bersenyawa dengan darahku. Dingin dengan ketenangan yang luar biasa menguasai tubuhku. Sehingga aku tidak bisa merasakan yang lain. Lalu apa yang harus kulakukan bila dingin itu memelukku? Maka, kuberikan saja bibirku pada dingin. Setidaknya, aku berharap bisa membagi kehangatan. Tetapi, dingin tetap dingin walaupun aku sudah mengulumnya dengan rakus.

Maka, aku berlari. Secepatnya. Dikejar dingin. Aku harus membawa tubuhku pergi dari gedung itu. Kalau tidak, tubuhku akan senasib dengan air yang merembes dari plafon. Atau akan diserap oleh lembab yang mengangga.

Lariku sampai pada titik-titik kecil. Awalnya kulihat seperti kunang-kunang. Atau mataku yang berbintang-bintang? Entah. Tetapi kemudian semakin terang. Benderang.

Tiba-tiba saja ada empat orang berpakaian putih-putih mengelilingiku. Aku jadi menyibukkan mereka.

''110: 70,'' ujar seseorang yang ada di sebelah kananku. Kulihat ia memompa sesuatu yang dibelitkan di lenganku.

''Nadi 70,'' yang di sebelah kiriku menyahut sambil memegang lenganku.

''Di mana yang sakit?'' seseorang yang mereka panggil sebagai dokter menanyaiku.

''Adakah selimut? Aku kedinginan,'' aku tidak merasa yakin kalau itu suaraku. Tetapi aku yakin kalau dingin masih menempel di tubuhku.

Mereka menggeleng sambil menatapku setengah keheranan. Mungkin kelihatannya aku normal-normal saja. Tetapi tidakkah mereka bisa merasakan dingin merambat di sekujur kulitku? Seperti para semut berjalan beriringan. Ujung-ujung jariku menebal lalu menyebar begitu cepat.

''Nama, umur, alamat?'' seseorang yang sejak tadi diam menanyaiku.

''Laila, 25 tahun, Surabaya,'' sahutku. Tetap dengan ketidakyakinan bahwa yang menjawab itu adalah suaraku.

''Alamat di Jember?''

''Gedung itu...''

''Gedung itu?'' ia mengulang kata-kataku dengan nada tanya. ''Maaf, ada keluarga yang bisa dihubungi?'' ia menyambung dengan pertanyaan lain.

Aku tidak suka dengan pertanyaan ini. Tetapi aku tahu bahwa orang ini harus menanyakan itu padaku. Aku semakin tidak suka dengan jawaban yang ingin kukatakan. Sebab, aku ingin menyebut namanya. Hanya ia yang tebersit di kepalaku saat itu. Tetapi aku tidak mungkin menyebutnya. Karena mungkin ia sedang bersama perempuan lain. Apa jadinya kalau kemudian orang-orang ini menghubunginya?

Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Bukan saja karena aku tidak suka, aku lebih sibuk berperang melawan dingin. Kurasa perutku mulai keram. Atau bekukah? Dan, angin dingin keluar dari hidungku.

Suara dokter terdengar hanya seperti dengungan lebah. Sepertinya ia menyuruh perawat menyuntikkan sesuatu ke tubuhku. Aku tidak bisa mendengarnya lagi. Hanya kurasakan ada cairan yang merembes masuk melalui kulitku. Seperti air merembes pada dinding yang bergelembung di gedung itu...

Sekarang rasanya mataku hanya melihat terang. Tetapi tetap kedinginan. Dan, tetap tidak ada selimut. Aku kalah melawan dingin. Maka kubiarkan saja tubuhku menerima dingin. Seketika itu juga yang tampak hanya seperti layar putih. Tidak ada yang melintas di sana. Masa lalu hilang. Apalagi masa depan. Tetapi walaupun hanya sepersekian detik ia sempat berkelebat. Maka, kucoba untuk mencuri secuil ingatan walau hanya untuk beberapa jenak.

''Kalau aku mati lebih baik dibakar saja. Tidak usah dikubur. Pasti di bawah sana begitu lembab dan dingin. Lalu cacing berpestapora atas tubuhku. Oh, tidak akan kubiarkan hal itu terjadi. Lebih baik abuku dilarung ke laut. Aku bisa jadi ikan,'' entah kenapa ia mengatakan hal yang menakutkan itu padaku.

Aku tidak suka berpikir tentang kematian. Aku sangat mencintai kehidupan. Karena, kalau mati, aku yakin pasti masuk neraka. Kata banyak orang, neraka itu lautan api panas. Semua meraung-raung dibakar sampai meleleh di sana. Lidah-lidah api akan menelan tubuhku. Pasti sangat menyiksa. Tetapi, kenapa ia justru memilih kematian dengan membakar jasad? Apakah ia tidak takut dengan panas itu? Bukankah dingin juga terasa melinukan seluruh sendi? Kurasa dingin juga sebentuk neraka. Ingin sekali kuceritakan padanya tentang neraka yang ini.

Oh! Aku tak kuasa menahan siksaan dingin. Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang lagi-lagi terasa dingin mengalir di ujung mataku. Simpul-simpulku yang belum terlalu dingin mengatakan bahwa aku tidak bisa lagi bercerita padanya. Ternyata dingin lebih dulu membekukan ceritaku.

''Lihat! Aku menangis. Tetapi, lagi-lagi kau tidak bisa melihatnya, kan?'' Kali ini aku yakin bahwa ini adalah suaraku. Sebab, memantul mencacah udara dengan begitu sedih. Kesedihan yang kusimpan hanya untuk diriku sendiri. Seperti Laila.

''Jangan menangis, ah...,'' aku ingat ia selalu berkilah sebelum tangisku dilihatnya. Awalnya, kupikir bahwa aku terlalu tinggi hati untuk membiarkannya melihatku menangis. Rupanya ia juga tidak mau melihatku menangis. Tetapi bagaimana mungkin aku tidak menangis bila ia berbicara seakan-akan kematiannya akan datang lima menit lagi?

''Kalau begitu, kamu jangan mati. Nanti aku sepi...,'' aku meratap sambil mati-matian menahan tangis. Bahkan untuk kehendaknya mati itu. Sebetulnya aku ingin tahu apakah ia juga akan menangisiku? Misalnya, bila aku pergi.

''Aku cuma ingin tidur seribu tahun. Aku letih,'' sahutnya mengelak dengan tidak lucu. Dalam hatiku bertanya-tanya, seletih apakah ia sampai ingin tidur seribu tahun? Apakah seletih gedung tua yang menyergapku dengan dingin itu?

Saat itu kucoba tertawa untuk sesuatu yang tidak lucu. Menertawakan kesedihan yang mencuat begitu saja. Kukatakan bahwa ia akan jadi pangeran tidur. Aku akan jadi putri yang menjaga tidurnya. Aku tidak akan lengah. Biarpun ia bukan punyaku, aku akan menjaga hatinya. Walaupun untuk seribu tahun. Dan, kelak kubangunkan dengan ciuman. Ketika itu pasti ia milikku.

Ia akan jadi ikan. Sedang dinginku sudah meleleh. Merembes seperti air di tembok gedung tua yang sama letihnya dengannya. Lalu mengalir sampai ke hilir. Ia bisa merenangiku dengan merdeka. Karena air tidak punya pintu. Sehingga ia tidak perlu letih melampauinya.

Tetapi ternyata sekarang air cuma menggenang di lantai yang membuat kaki malas berpijak. Kakiku menjerit, ''Jangan menebar gigil di sini!'' Dingin tetap saja tidak pamit undur diri. Masih setia berjingkat-jingkat.

Aku ingin menekan tombol ponselku. Meneleponnya, ''Peluk aku. Peluk aku.'' Mungkin juga berkata, ''Aku sekarang putri tidur itu. Entah untuk berapa tahun. Apa sekarang kau merasa sepi?''

Ia mulai lenyap. Aku berusaha menahannya. Aku ingin menculiknya. Untuk bersama-sama dalam ingatan yang tak pernah lekang. Kubekukan dalam benak dan pikiran yang tak bisa hilang.

Ia ikan dan aku air. Iya kan?

''Aku menyesal jadi Laila!'' seruku dengan hangatku yang tersisa. Kuharap ia mendengarnya. Seruanku bercerita tentang Laila yang haus tepuk tangan. Juga Laila yang terkapar. Laila yang menangisi dirinya sendiri. Laila yang kedinginan.

''Lailaaaaaaaaa.....'' Aku tidak tahu itu suara siapa. Aku yakin bahwa itu bukan suaranya. Ia tidak memanggilku dengan nama Laila. Lalu apakah suara dokter dan para perawat itu? Karena mereka hanya tahu namaku Laila. Atau teriakan lawan mainkukah? Memang ada sebuah adegan di mana lawan mainku meneriakkan nama itu sambil menenteng lampu bercahaya redup.

Mungkin itu benar suara lawan mainku. Karena terangku mulai meredup. Hanya jadi seperti titik-titik cahaya kecil yang tidak berdaya. Semakin lemah.

''Apa benar namanya Laila?'' kudengar suara sopir sambil terbatuk-batuk. ''Rasanya semakin dingin...''

''Ia mengaku begitu. Tetapi laki-laki yang kami hubungi tadi mengatakan bahwa ia bukan Laila,'' sahut laki-laki bersuara serak di sampingnya. ''Itu pintu tol Waru. Untunglah. Surabaya sebentar lagi. Laki-laki di telepon itu menyuruh kita mengantarnya ke Surabaya secepatnya. Kedengarannya sangat cemas.''

''Siapa laki-laki di telepon itu?''

''Entah. Kami tidak tahu harus menghubungi siapa ketika suhu tubuhnya semakin turun. Semakin dingin. Tiba-tiba saja sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Sukseskah Laila? cuma itu SMS yang masuk. Dan, kami memutuskan menghubungi nomor yang mengirim pesan singkat itu.''

Angin bernapas tidak teratur. Napasku mengangin.

''Dia cantik sekali. Seperti tidur.''

''Tapi tadi sempat kulihat ada air mata. Ia menangis dalam tidur.''

''Ah, masa? Ia cuma seperti tidur. Jadi pasti ia juga cuma seperti menangis. Lihat saja, nanti kalau sudah bertemu laki-laki itu, ia pasti bangun dan tertawa. Sekarang ia cuma pura-pura. Ia seperti pemain sandiwara.''

Titik-titik cahaya kecil rontok satu per satu.

''Eh, betul...rasanya dingin sekali...''

Lalu mereka diam. Mobil masih bergoyang-goyang saling menyalip. Aku ingin mereka lebih cepat. Cahayaku tinggal setitik.

''Kamu kan tidak ingin jadi pemain sandiwara?'' kali ini aku yakin bahwa yang kudengar adalah suaranya. Ia tidak pernah berkata ''tidak'' untuk apa saja yang ingin kulakukan. Tetapi bukankah nada suaranya mengatakan bahwa ia tidak suka aku bermain sandiwara? Ia tidak suka aku menjadi Laila.

Kali ini aku tidak ingin membantahnya lagi. Tidak ada salahnya bila aku menurutinya. Bukankah cuma dia yang selalu memenuhi keinginanku?

''Ya. Aku tidak ingin jadi pemain sandiwara. Aku cuma ingin jalan-jalan. Karena ada yang paling kusukai dari sebuah perjalanan. Menembus butanya malam!''

Lalu, malam sungguh-sungguh buta. Tidak ada cahaya lagi. Walau cuma setitik. ***

(Pro : ikan : blub blub blub. 03.06 WIB)